5 hal paling bikin 'chill' yang kupelajari dari filosofi teras

Kemunculan buku Filosofi Teras di tahun 2020 yang penuh cobaan itu bak hadirnya perahu Nabi Nuh saat banjir bandang. Momennya pas. Terbit pertama kali memang di tahun 2019, tetapi di tahun 2020 buku ini makin populer. Overall, Filosofi Teras berisi tentang mengikhlaskan, melepaskan, dan nggak ambil pusing dengan apa yang terjadi di luar kendali kita, istilahnya adalah Stoisisme. (Paham kan kenapa buku ini laris tahun 2020? WKWK).

Menurut penulisnya, Henry Manampiring, belum banyak buku tentang filsafat Stoisisme dalam Bahasa Indonesia meski Stoisisme sudah ada sejak jaman Romawi kuno yang dipopulerkan oleh Kaisar Marcus Aurelius. Bahkan topik filsafat umum sendiri masih sangat minim dibahas di Indonesia, entah karena dianggap terlalu ruwet sampai kadang ada yang nyeletuk, "otakku nggak nyampe buat belajar filsafat."

Sebagai pembaca, ide Stoisisme buatku cukup menarik dan realistis. Meski begitu, selama membaca, otakku nggak bisa diam dan meng-counter berbagai gagasan di buku ini. Aku sampai capek sendiri karena nggak bisa membaca dengan tenang. Mungkin karena aku sudah membaca beberapa buku self-improvement sebelumnya dan sudah meyakini suatu prinsip, makanya jadi nggak bisa dengan mudah menelan gagasan lain. Hmm, atau karena aku makin sensitif dengan pemilihan kata? Sepertinya akan lebih mudah kalau aku baca Filosofi Teras waktu SMA dan masih polos-polosnya(?).

Kalau kuamati, pemilihan kata yang digunakan di buku ini terkesan bold, aku banyak menemukan kalimat-kalimat seperti "mengendalikan emosi", "melawan interpretasi", "melawan pola pikir destruktif", "memperkuat mental", "menang dengan bertahan", dsb. yang mengarah pada solusi menghadapi masalah dan kekhawatiran dalam hidup. Sedangkan, aku terbiasa menghadapi keruwetan hidup cukup dengan modal "acceptance" atau penerimaan, yang aku pelajari dari buku Mindfulness Plain and Simple karya Oli Doyle (pernah aku bahas di postingan sebelumnya, tapi ternyata yang kutulis bukan soal acceptance wkwkwk). Ada sih satu sub bab yang membahas menerima penderitaan, tetapi nggak terlalu dalam.

Meski gaya bahasanya terkesan bold, ide Stoisisme ini sebenarnya santuy banget. Berikut ini 5 hal paling chill yang kupelajari dari buku Filosofi Teras, yang masih relevan dengan ajaran buku-buku self-improvement yang pernah kubaca sebelumnya.

1. Nggak usah repot-repot ngurusin hal yang nggak bisa kamu kendalikan.
Nginjek tahi di jalan? Yaudah sih, dari tadi tahinya udah di situ dan kamu nggak bisa undo tahi itu balik ke anus (kucing, anjing, berang-berang, dst.), lagian udah terlanjur kamu injek, tinggal cari rumput atau lepas sepatu. Temanmu ngejauhin kamu? Yaudah sih, hidup nggak cuma di circle itu-itu aja. Time flies, people change. Kamu bisa tetap baik ke dia, tapi kamu nggak bisa mengendalikan sikap dia ke kamu, ya mau gimana lagi? Gitu aja kok repot.

2. Hope for the best, and prepare for the worst.
Ada orang yang dalam hidupnya hampir nggak pernah stres. Ternyata setelah ditelusuri, tiap bangun pagi dia ngebayangin the worst scenario that might happen today. "Hari ini mungkin bakal macet, ban kempes di jalan, baju ketumpahan saos, ketemu temen salty, laptop nge-lag pas dipake kerja, diomelin bos, atau pulang kehujanan." Bukannya negative thinking atau pesimis, kamu tetap bisa beroptimis secara realistis dari hal yang sudah kamu usahakan. Maksudnya adalah mempersiapkan otak kita kalau-kalau hal-hal di luar kendali ini beneran terjadi, kamu nggak perlu stres karena udah diantisipasi duluan.

3. Harta adalah alat.
Menjadikan uang atau materi sebagai tujuan bukannya alat hanya akan membuat hidup terombang-ambing oleh kebahagiaan semu. Harta bukan hal yang bisa kamu kendalikan, karena meski kamu bisa mendapatkannya, bukan berarti kamu bisa selalu mempertahankannya. Harta cukup menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan. Kalau ada alhamdulillah, kalau belum ada ayo cari lagi. #PastiAdaJalan

4. Waspada 'kurang kerjaan'.
Kenapa banyak orang nyinyir di internet? Itulah Bunda, salah satu dampak bila anak kurang kerjaan. Yuk, cari kesibukan, sesimpel mengeksplor hobi atau belajar bahasa asing di YouTube. Kalau kamu punya hal penting untuk dikerjakan, kamu nggak akan ada waktu buat membenci orang apalagi jadi buzzer dan nyinyirin orang yang bahkan nggak kamu kenal di medsos.

5. Mengasihani orang yang jahat ke kita.
Kebanyakan orang jahat karena dia nggak tahu kalau yang dia lakukan itu jahat. Macam yang Rangga lakukan ke Cinta. Jahat. Meski orang jahat dengan niat jahat itu ada, tapi justru lebih banyak orang yang nggak tahu kalau mereka nggak tahu. Seperti orang yang nyerobot antrean, bisa saja karena mereka nggak punya konsep 'antre' atau memang nggak tahu kalau nyerobot antrean itu menyakiti perasaan orang lain. Yang kayak gini kalau kata Epictetus adalah "buta nalar". Kasihan loh.

Nggak semua orang punya hati yang lapang seperti orang-orang Stoa. Karena itu, nggak semua orang bisa chill atau dengan mudah mempraktikkan Stoisisme. Gimana, kamu tertarik membaca buku Filosofi Teras dan jadi Stoic?

Ps. Feel free to share this article to those who need to read this. :)

Komentar