Setelah aku resign minggu lalu, banyak yang nanya, "Gimana rasanya resign?" Yaah, simpelnya kayak weekend tapi setiap hari. Tbh, itu cuma jawaban biar orang ga nanya-nanya lagi sih hehehe.
Sebelumnya aku pernah ngebahas soal ide bekerja di postingan What do you work for? dan Time Is, sekarang hayuk bahas ((The idea of signing off)).
Baru minggu lalu, aku memutuskan resign dari profesi content writer di salah satu coworking space yang itungannya masih startup. Bukan keputusan mudah. Butuh waktu 3 bulan sampe akhirnya memutuskan buat nyetor surat pengunduran diri. Salah satu pertimbangannya karena aku passionate di bidang tersebut dan seneng karena punya tim yang suportif. Alasan aku resign karena ngerasa ga work-life-balance, I spent almost my whole time working for the company. Mencoba menahan-nahan malah jadi burn out dan berdampak ke kesehatan. Aku karyawan yang paling sering ijin sakit dan sempat masuk UGD 2 kali.
Ternyata rasa gundah gulana itu hanya datang di saat-saat sebelum resign. Karena setelah resign yang datang adalah cibiran masyarakat wkwkwk
"Belum dapat kerjaan baru kok udah resign?"
"Banyak yang kena PHK kok kamu malah resign?"
"Kerja tu ga usah pilih-pilih, asalkan mampu ya dijalani aja, ga usah mikir aku ga suka sama kerjaan itu blablabla."
"Anak ibu nyari kerja ke mana-mana ga dapet, kamu kok malah resign."
Ga ada yang melarang siapapun buat bertahan di suatu pekerjaan. Tapi manusia punya batasan, dan beberapa hal memang lebih baik dilepas. Nyatanya resign ga seburuk itu kok. For me, resign is not the end of everything, instead the beginning of a new journey. Baru permulaan, kayak baru membuka gerbang mau menuju dunia non korporat. What matters is, apa yang akan kamu kerjakan setelah resign. Terkadang kita perlu mundur 1 langkah untuk maju 20 langkah. Take your time to find your own path alias menemukan jalan ninjamu.
Eniwei, soal bu-ibu yang ngeluh karena aku resign di saat anaknya sulit dapat pekerjaan, monmaap kalau aku gajadi resign apakah kemudian anaknya auto dapat pekerjaan? *berpikir kerad*
Sebelumnya aku pernah ngebahas soal ide bekerja di postingan What do you work for? dan Time Is, sekarang hayuk bahas ((The idea of signing off)).
Baru minggu lalu, aku memutuskan resign dari profesi content writer di salah satu coworking space yang itungannya masih startup. Bukan keputusan mudah. Butuh waktu 3 bulan sampe akhirnya memutuskan buat nyetor surat pengunduran diri. Salah satu pertimbangannya karena aku passionate di bidang tersebut dan seneng karena punya tim yang suportif. Alasan aku resign karena ngerasa ga work-life-balance, I spent almost my whole time working for the company. Mencoba menahan-nahan malah jadi burn out dan berdampak ke kesehatan. Aku karyawan yang paling sering ijin sakit dan sempat masuk UGD 2 kali.
"Belum dapat kerjaan baru kok udah resign?"
"Banyak yang kena PHK kok kamu malah resign?"
"Kerja tu ga usah pilih-pilih, asalkan mampu ya dijalani aja, ga usah mikir aku ga suka sama kerjaan itu blablabla."
"Anak ibu nyari kerja ke mana-mana ga dapet, kamu kok malah resign."
"Ternyata rasa gundah gulana itu hanya datang di saat-saat sebelum resign. Karena setelah resign yang datang adalah cibiran masyarakat wkwkwk"Seakan-akan kita ga berhak buat istirahat dan resign adalah sebuah aib, jadi apapun kondisinya you must work eventhough you're stress out, punya kerjaan yang lingkungannya toxic, gaji kecil, atau ga passionate just to tell people you have a job.
Ga ada yang melarang siapapun buat bertahan di suatu pekerjaan. Tapi manusia punya batasan, dan beberapa hal memang lebih baik dilepas. Nyatanya resign ga seburuk itu kok. For me, resign is not the end of everything, instead the beginning of a new journey. Baru permulaan, kayak baru membuka gerbang mau menuju dunia non korporat. What matters is, apa yang akan kamu kerjakan setelah resign. Terkadang kita perlu mundur 1 langkah untuk maju 20 langkah. Take your time to find your own path alias menemukan jalan ninjamu.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus