Siapa yang waktu kecil paling malas tiap disuruh ngabisin nasi? Apalagi pas asyik-asyiknya main, tiba-tiba dipanggil ibu pulang karena waktunya makan siang. Akhirnya makan siangnya sambil ogah-ogahan, atau nggak habis (padahal sekarang tukang ngabis-ngabisin beras). Dulu, biasanya orang tua kita menasihati kita yang bandel ini dengan berbagai cerita. Cerita-cerita tersebut mungkin saja mereka dapatkan dari kakek nenek kita yang juga mendapatkan cerita yang sama dari buyut kita, dan seterusnya. Biasanya cerita-cerita tersebut berupa mitos, dan sebagai anak kecil, kita dengan mudah mempercayainya.
Dulu, bapak sering bilang kalau aku nggak menghabiskan nasi di piring, nasi yang nggak habis itu akan menangis. Aku bukannya percaya waktu itu, tapi aku kasihan aja kalau nasi itu ditinggal sendirian di piring sedangkan yang lain sudah kumakan (nanti mereka iri-irian kan repot). Akhirnya kuhabiskan bersih setiap kali aku makan. Ternyata cerita tentang nasi menangis itu ada versi lebih lengkapnya, dan baru aku ketahui ketika aku main ke rumah tetangga, hahaha. Waktu itu teman mainku lagi makan siang, terus aku mulai cerita soal nasi yang menangis kalau nggak dihabiskan. Temanku bilang, yang menangis itu sebenarnya bukan nasinya, tapi Dewi Sri. Dewi yang menjaga kesuburan pertanian. Berkat Dewi Sri lah, padi-padi itu tumbuh subur dan bisa dipanen untuk kita konsumsi setiap hari. Karena itu, Dewi Sri akan menangis setiap kali kita nggak menghabiskan nasi sampai bersih, walau hanya sebutir. Menurut Wikipedia, Dewi Sri adalah Dewi kesuburan pertanian di tanah Jawa dan Bali.
Dulunya, aku pikir cerita tentang Dewi Sri tersebut hanya mitos belaka yang dibuat orang-orang tua zaman dulu agar anak-anak mereka menghabiskan makanannya. Ternyata ada sebuah gagasan di balik cerita mitos tersebut. Mengapa yang menjaga kesuburan tanah adalah seorang Dewi, yang dalam wujudnya adalah perempuan? Sampai-sampai sebutan Indonesia sendiri adalah Ibu Pertiwi, mengapa bukan Bapak? Ide ini ternyata selaras dengan ekofeminisme, yang mengaitkan lingkungan dengan perempuan. Ekofeminisme adalah sebuah gagasan yang berusaha mendekonstruksi patriarki terhadap alam dan perempuan. Mengapa harus alam dan perempuan? Karena keduanya adalah hal yang banyak dieksploitasi dan didominasi oleh kuasa patriarki. Secara simbolis, alam dan perempuan memberi kita kehidupan karena kita makan dan hidup dari alam, seperti halnya kita memperoleh ASI dan kasih sayang dari Ibu. Maka sudah sepatutnya kita menghargai keberadaannya dengan menjaga dan tidak merusak atau mengeksplotasinya. Bahasan lebih lanjut tentang ekofeminisme aku baca dari buku Kritik Sastra Berwawasan Ekologis dan Feminis karya Dr. Wiyatmi, dkk.
Dilihat dari sudut pandang ekofeminisme, cerita Dewi Sri mengaitkan alam dengan perempuan sebagai dua aspek utama yang menjadi pembahasan. Dari cerita tersebut, sejak kecil kita telah diajarkan untuk tidak menyia-nyiakan makanan yang berasal dari alam. Keberadaan Dewi Sri yang menjaga kesuburan tanah pertanian, secara tidak langsung juga mengajarkan kita untuk menghargai perempuan sebagai wujud yang merawat dan menjaga kelangsungan hidup kita. Itulah sebabnya menurut cerita, kalau kita nggak menghabiskan nasi, Dewi Sri akan menangis karena ketika kita tidak menghargai alam, maka sama halnya kita tidak menghargai dirinya. Hmm, nggak nyangka kan kisah mitos yang berasal zaman dahulu ternyata menyimpan wawasan ekologis dan feminis, hahaha. Jadi, apa kalian berencana menceritakan kisah Dewi Sri ke anak cucu kalian kelak? 😁
Dulu, bapak sering bilang kalau aku nggak menghabiskan nasi di piring, nasi yang nggak habis itu akan menangis. Aku bukannya percaya waktu itu, tapi aku kasihan aja kalau nasi itu ditinggal sendirian di piring sedangkan yang lain sudah kumakan (nanti mereka iri-irian kan repot). Akhirnya kuhabiskan bersih setiap kali aku makan. Ternyata cerita tentang nasi menangis itu ada versi lebih lengkapnya, dan baru aku ketahui ketika aku main ke rumah tetangga, hahaha. Waktu itu teman mainku lagi makan siang, terus aku mulai cerita soal nasi yang menangis kalau nggak dihabiskan. Temanku bilang, yang menangis itu sebenarnya bukan nasinya, tapi Dewi Sri. Dewi yang menjaga kesuburan pertanian. Berkat Dewi Sri lah, padi-padi itu tumbuh subur dan bisa dipanen untuk kita konsumsi setiap hari. Karena itu, Dewi Sri akan menangis setiap kali kita nggak menghabiskan nasi sampai bersih, walau hanya sebutir. Menurut Wikipedia, Dewi Sri adalah Dewi kesuburan pertanian di tanah Jawa dan Bali.
Dulunya, aku pikir cerita tentang Dewi Sri tersebut hanya mitos belaka yang dibuat orang-orang tua zaman dulu agar anak-anak mereka menghabiskan makanannya. Ternyata ada sebuah gagasan di balik cerita mitos tersebut. Mengapa yang menjaga kesuburan tanah adalah seorang Dewi, yang dalam wujudnya adalah perempuan? Sampai-sampai sebutan Indonesia sendiri adalah Ibu Pertiwi, mengapa bukan Bapak? Ide ini ternyata selaras dengan ekofeminisme, yang mengaitkan lingkungan dengan perempuan. Ekofeminisme adalah sebuah gagasan yang berusaha mendekonstruksi patriarki terhadap alam dan perempuan. Mengapa harus alam dan perempuan? Karena keduanya adalah hal yang banyak dieksploitasi dan didominasi oleh kuasa patriarki. Secara simbolis, alam dan perempuan memberi kita kehidupan karena kita makan dan hidup dari alam, seperti halnya kita memperoleh ASI dan kasih sayang dari Ibu. Maka sudah sepatutnya kita menghargai keberadaannya dengan menjaga dan tidak merusak atau mengeksplotasinya. Bahasan lebih lanjut tentang ekofeminisme aku baca dari buku Kritik Sastra Berwawasan Ekologis dan Feminis karya Dr. Wiyatmi, dkk.
Dilihat dari sudut pandang ekofeminisme, cerita Dewi Sri mengaitkan alam dengan perempuan sebagai dua aspek utama yang menjadi pembahasan. Dari cerita tersebut, sejak kecil kita telah diajarkan untuk tidak menyia-nyiakan makanan yang berasal dari alam. Keberadaan Dewi Sri yang menjaga kesuburan tanah pertanian, secara tidak langsung juga mengajarkan kita untuk menghargai perempuan sebagai wujud yang merawat dan menjaga kelangsungan hidup kita. Itulah sebabnya menurut cerita, kalau kita nggak menghabiskan nasi, Dewi Sri akan menangis karena ketika kita tidak menghargai alam, maka sama halnya kita tidak menghargai dirinya. Hmm, nggak nyangka kan kisah mitos yang berasal zaman dahulu ternyata menyimpan wawasan ekologis dan feminis, hahaha. Jadi, apa kalian berencana menceritakan kisah Dewi Sri ke anak cucu kalian kelak? 😁
Komentar
Posting Komentar