Benda Berlensa Ajaib

Oleh: Rizka Nafiah

Katty, seorang gadis berkepang dua yang memiliki pipi semerah mawar, tinggal bersama neneknya dan seekor kucing Himalaya yang gemuk di sebuah rumah tua yang nyaman. Semua orang menyayangi Katty karena sifatnya yang sederhana dan murah hati pada siapapun. Namun, ia terlalu sibuk dengan dunia kecilnya hingga jarang bermain dengan teman-teman sebayanya. Pergi ke manapun yang ia suka, membawa buku gambar dan cat lukisnya, memerhatikan orang-orang dan sekitar lalu mulai melukis sendirian.

Suatu hari, seorang kakek yang memiliki rambut seputih awan kebetulan lewat dan melihat Katty yang sedang asik melukis dengan mengeluarkan lidahnya. Dia berkata ingin sekali gambar wajahnya dilukis. Katty tak pernah melukis seseorang sebelumnya, tapi ia pikir ini akan menarik. Ia pun setuju untuk melukis gambar wajah si kakek. Setelah jadi dan menurutnya lukisannya sudah cukup mirip dengan wajah si kakek, Katty memberikan gambarnya pada kakek itu dengan tersenyum. Si kakek pun tersenyum melihat gambar wajahnya yang dilukis oleh Katty. Kemudian kakek itu mengeluarkan sesuatu dari tas usangnya, sebuah benda kotak yang memiliki lensa bundar di tengahnya, lalu memberikannya pada Katty sebagai hadiah karena telah melukis gambar wajahnya. Katty akan menolak jika diberi uang, karena gambarnya tidak untuk dijual. Tetapi ini adalah sebuah hadiah berupa benda yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia pikir akan tidak baik jika menolak pemberian seseorang. Dengan penuh rasa ingin tahu, Katty menerima benda itu dari tangan kakek, "Benda apa ini?"
"Sebuah kamera. Kau bisa tahu apa yang seseorang sukai jika memotretnya menggunakan kamera itu."
Katty sangat senang. Ia tidak sabar ingin segera menunjukkan benda baru itu pada nenek.
"Terima kasih!" ucapnya sembari berlari pulang mengalungkan kameranya.

Ketika Katty sampai di halaman rumah, ia melihat Totsky kucingnya sedang tertidur pulas melingkarkan badan di teras. Ia mendapat ide akan bagus jika potretan pertamanya ditujukan pada kucing kesayangannya itu. Katty segera mendatanginya dengan langkah mengendap-endap agar kucing itu tak bangun. *Ckret!* Suara jepretan kamera itu sangat keras hingga membuat Totsky kaget dan terbangun. Tapi Katty berhasil mengambil gambarnya. Ada sesuatu yang keluar dari kamera itu. Sebuah lembaran hitam yang mengkilat. Katty segera mengambilnya dan menerawang dengan penasaran. Tapi tanpa berlama-lama lagi di luar, ia segera masuk dan menemui nenek yang sedang membaca buku di kursi dekat jendela.
"Nenek, lihat! Aku mendapat sebuah kamera."
Nenek memandangnya dengan terheran-haran, namun tidak berkomentar banyak, "Hmm, dari mana kau mendapat kamera selangka ini?"
"Seorang kakek yang kulukis wajahnya memberiku ini. Aku baru mencobanya pada Totsky, tapi lihat! Keluar kertas hitam."
Nenek tersenyum. Ia segera mengambil kertas itu dan mengibaskannya berkali-kali.
"Apa yang nenek lakukan?" tanya Katty penasaran.
"Membuat kertas ini terlihat gambarnya. Kau harus mengibaskannya seperti ini."
"Oh!" Katty melihatnya dengan kagum.
Setelah gambar di kertas mulai cukup jelas, nenek menerawangnya dan ia terkejut. Itu bukanlah gambar Totsky yang diceritakan Katty tadi, melainkan hanya gambar wadah bundar berisi penuh makanan Totsky setiap harinya.
"Wah! Benar sekali. Totsky suka makanan ini," seru Katty. Ia menjelaskan apa yang dikatakan si kakek tentang kamera itu pada nenek. "Mari kita lihat, apa yang disukai nenek!" *Ckret!*
Dengan wajah yang masih kebingungan, nenek mengedip-ngedipkan matanya karena silau. Lembaran hitam kembali keluar dari kamera tersebut. Dengan penuh semangat, Katty mengambilnya dan mengibas-ngibaskannya seperti yang dilakukan nenek tadi. Setelah gambar terlihat cukup jelas, Katty berhenti dan melihat hasilnya. Itu adalah gambar seorang laki-laki yang sedikit lebih muda dari nenek dengan rambut beruban di sana-sini. Katty tidak merasa mengenalinya, maka ia memberikannya pada nenek.
"Siapa ini?" tanyanya.
"Astaga! Foto almarhum kakekmu," nenek menutup mulutnya dengan satu tangan ketika melihat hasil foto tersebut. "Sungguh ajaib!"
Katty tersenyum senang mendengarnya. Tapi ia tetap tidak mengerti kenapa nenek terus menyebut kamera itu ajaib. Saat itu ia pikir semua kamera memang bisa melakukan itu.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Katty bangun dengan penuh semangat. Kali ini, untuk pertama kalinya, ia tidak sabar ingin bertemu teman-temannya dan memotret mereka satu persatu untuk mengetahui apa saja yang masing-masing mereka sukai. Ia meninggalkan buku gambar dan cat lukis yang biasa ia bawa ke mana-mana di meja kamarnya. Katty berlari sambil mengalungkan kameranya dan menuju ke taman, di tempat anak-anak biasa bermain. Tetapi sepertinya ia datang terlalu pagi. Ayunan-ayunan dan perosotan di taman, semua kosong dan sepi. Ia agak kecewa, tetapi kemudian Katty melihat seorang anak yang sedang berjongkok membelakanginya di dekat semak-semak. Ia pun melangkah mendekati anak itu sambil lalu memerhatikannya dari dekat. Anak laki-laki itu sedang bermain tanah dengan sekopnya, pikir Katty. Tetapi sebelum bertanya untuk memastikan, anak itu sudah menoleh duluan menyadari keberadaan Katty. Dia anak laki-laki sebayanya yang memiliki warna mata sebiru laut yang belum pernah Katty lihat sebelumnya.
"Oh, maaf. Apa aku mengganggu? Tapi kalau boleh tahu, kau sedang apa?" tanya Katty dengan sopan.
"Aku sedang mananam bunga. Kemarilah."
"Tulip!" seru Katty spontan.
"Benar. Indah, bukan?"
Katty mengangguk. "Tapi, kenapa kau sendirian?"
Anak laki-laki itu menatap Katty. Sesaat, Katty pikir ia sungguh mengagumi warna biru mata anak laki-laki itu. "Bukankah kau juga demikian? Kau gadis yang biasanya melukis di dekat kolam ikan itu, bukan? Di mana alat lukismu?"
Katty terkejut mendengar pertanyaan anak itu, sampai-sampai ia hampir kehabisan ide untuk menjawab pertanyaannya. Ia pikir mereka tidak tahu satu sama lain, ternyata anak laki-laki itu sudah mengenalinya terlebih dahulu.
"Oh," Katty segera menjawab, "Hari ini aku akan memotret!"
Anak itu hanya memandang Katty sebentar lalu bola matanya beralih ke kamera yang dikalungkan Katty.
"Hmm," gumam anak itu, "Akan kutunjukkan sesuatu yang bagus, setelah aku selesai menanam tulip ini."
Katty tidak memrotes. Setelah selesai menanam dan menyiram tulip itu dengan baik, anak laki-laki itu mengajak Katty pergi ke tempat yang tidak terlalu jauh dari taman, tempat yang banyak pohon dan suara kicauan burung, tempat yang lebih tinggi, terasa ketika Katty melihat kakinya menanjak tidak seperti kalau ia berjalan di jalan yang datar. Di depannya, Katty menatap anak laki-laki yang lebih tinggi darinya itu dari belakang. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Hey, siapa namamu?" Katty bertanya.
Anak laki-laki itu menoleh, "Hudson."
"Hudson..." ulang Katty, "Namaku Katty!"
Hudson tidak menjawab, bahkan tidak menoleh atau sekedar berkata 'senang bertemu denganmu' seperti yang dilakukan Katty ketika seseorang menanyakan namanya terlebih dahulu. Namun, tiba-tiba langkah Hudson berhenti, yang membuat Katty juga ikut berhenti. Sebelum Katty bertanya kenapa, Hudson lebih dulu menunjuk telunjuknya ke arah sesuatu dan berkata, "Lihat!"
Katty segera melihat apa yang dimaksud Hudson.

Sebuah pemandangan desa dari atas dengan kabut tipis di pagi hari terlihat samar namun begitu indah, sinar matahari yang masih separuh muncul membuat Katty sedikit silau saat melihatnya. Sungguh pemandangan yang belum pernah Katty lihat sebelumnya. Ia sudah tinggal di desa selama hampir 6 tahun, tetapi ini pertama kalinya melihat pemandangan seluruh desa dari tempat yang lebih tinggi. Katty sampai kehabisan kata-kata saking senang dan liarnya imajinasi yang sedang tergambar di kepalanya saat melihat pemandangan luar biasa itu.

"Bagaimana kau menemukan tempat ini?" tanya Katty akhirnya.
"Aku suka menjelajah tempat. Menemukan tempat ini seperti menemukan harta karun yang berharga."
"Oh!" Katty memandang Hudson dengan penuh kagum.
"Sekarang kau bisa memotretnya, Katty," lanjut Hudson.
Katty terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-kata Hudson, meski itu sama sekali bukan usulan.
"Aku punya ide bagus. Aku akan melukis tempat ini saja, lalu kamera ini kugunakan untuk memotretmu!"
"Aku tidak setuju," sahut Hudson. "Aku tidak suka difoto. Nah, sekarang terserah padamu. Aku mau kembali. Dah!"
Katty hanya memandangi Hudson yang sedang berlari membelakanginya meninggalkan tempat itu. Tidak hanya ia merasa udara pagi itu sangat dingin, Katty juga merasa Hudson memiliki sikap yang dingin. Tetapi ia yakin, di balik dinginnya kabut di luar, anak laki-laki bermata sebiru laut itu memiliki hati sehangat sinar matahari.

Katty melompat menuruni anak tangga di teras rumah keesokan harinya, membawa kamera yang dikalungkan di lehernya dan buku gambar serta cat lukisnya. Ia seperti merasa bersalah telah meninggalkan alat-alat lukisnya seharian kemarin. Maka kali ini ia punya rencana baru yang sudah ia susun matang-matang sebelum ia tidur malam sebelumnya. Ketimbang hanya membawa salah satu, antara alat lukis dan kamera, Katty memutuskan untuk membawa keduanya. Ia akan melukis pemandangan yang ia lihat bersama Hudson kemarin, dan apabila nanti bertemu dengan teman-temannya di jalan, ia akan memotret mereka bergantian.

Katty berlari menuju taman dengan penuh semangat. Kamera yang ia kalungkan bergoyang ke kanan dan kiri di tubuhnya yang kecil. Pagi itu taman sudah ramai dengan anak-anak yang bermain di ayunan dan perosotan. Katty sangat senang melihatnya. Sepertinya rencananya akan berjalan dengan baik. Ketika ia hendak memotret salah satu anak yang menurutnya cukup familiar, Katty melihat Hudson di ujung taman sedang bermain dengan seekor hewan berbulu coklat tebal. Katty segera berlari ke arah Hudson yang ternyata sedang memangku seekor kucing persian. Hudson yang menyadari kedatangan Katty, menyapanya dengan senyuman kecil, yang kemudian dibalas dengan senyuman yang lebih lebar oleh Katty.

"Kucing manis, siapa namamu?" sapa Katty sambil mengelus kepala kucing yang besar itu.
"Dia kucing liar. Sepertinya sudah ada yang memberinya nama, tapi aku tidak tahu siapa namanya."
Katty hanya mengagguk-anggukkan kepala sambil terus mengelus rambut tebal kucing itu. Tiba-tiba ia mengangkat kedua alisnya seperti baru saja mendapat ide yang bagus.
"Ah! Kira-kira apa yang dia suka, ya?" Katty segera mengangkat kameranya dan bersiap memotret kucing tersebut. "Hudson, bisa tolong angkat kucing ini, agar wajahnya lebih jelas?"
Meskipun Hudson terlihat heran, ia tidak keberatan hanya mengangkat seekor kucing berdiri tepat di depannya menghadap Katty. Kucing itu menggeliat-geliat, sepertinya ia tidak suka diberdirikan. Tetapi Katty sudah siap dengan kameranya. *Ckret!* Ia memotret saat kucing itu sudah benar-benar meronta minta diturunkan. Sepertinya hasilnya tidak bagus, pikir Katty sambil mengibaskan lembaran foto yang keluar.
"Bagaimana hasilnya?" tanya Hudson, berusaha menenangkan kucing tersebut.
"Entahlah, kurasa hasilnya buram. Ah, sudahlah tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, aku punya urusan penting. Sampai nanti ya!"
Katty baru ingat, kalau ia tidak segera melukis sekarang, mataharinya akan semakin naik dan tidak berwarna oranye seperti kemarin. Maka ia berlari menuju tempat yang lebih tinggi itu secepat mungkin dan segera melukis di sana. Karena melukis dengan terburu-buru, hasilnya jadi kurang bagus. Warnanya jadi tak karuan. Ia pikir, mungkin ia akan ke tempat itu lagi besok pagi.

Katty berjalan menuruni tempat itu, tiba-tiba ia teringat foto kucing liar Hudson yang tadi belum sempat ia lihat karena terburu-buru. Setelah dilihat-lihat, benar dugaannya, hasil foto itu memang buram. Namun, samar-samar ia tahu bahwa yang dilihatnya adalah sosok seorang gadis di sana. Menurut Katty, mungkin kucing itu dulunya adalah kucing rumah yang tersesat saat sedang bermain di luar terlalu jauh, dan gadis itu adalah majikannya. Tapi ia tetap tidak mengerti, bagaimana seekor kucing bisa menyukai majikannya seperti sosok Blabla, seekor anjing di film kartun kesukaannya yang sangat setia pada majikannya, Tin Tin. Totsky yang sudah ia pelihara hampir tiga tahun saja, lebih memilih menyukai makanannya ketimbang dirinya.

Katty masih terus memikirkannya di sepanjang jalan. Sampai akhirnya ia menemukan dugaan yang mengejutkan dirinya sendiri. Bagaimana jika yang dipotretnya tadi ternyata adalah Hudson? Katty kembali melihat hasil foto itu dan memerhatikannya lebih seksama. Dia adalah seorang gadis berkuncir dua yang sedang menunduk. Di belakang gadis itu, samar-samar Katty melihat bangunan yang sangat dikenalnya.
"Patung kuda putih di taman!" seru Katty bersemangat dan berlari menuju tempat itu.
Rasa ingin tahunya tidak lebih sekedar ingin mengenal seperti apa sosok yang disukai seorang anak laki-laki bermata biru laut yang mengetahui banyak hal yang tidak Katty ketahui, seorang anak yang mengagumkannya. Katty telah sampai di depan patung kuda putih persis seperti yang ada di foto, tetapi ia tak menemukan siapapun di sana. Hanya ada kursi kosong yang sering ia tempati saat ia melukis. Ia kembali memerhatikan foto itu sekali lagi. Gadis berkuncir dua yang menunduk dan di belakangnya ada patung kuda putih yang memancurkan air di tengah kolam ikan...
"Kolam ikan? Astaga!" seru Katty akhirnya, sambil menutup mulutnya dengan satu tangan persis seperti yang dilakukan nenek sebelumnya.

Tanpa ia sadari, seseorang telah berdiri di hadapannya dan menyapa, "Halo, Katty, melukis di sini lagi?"
Pagi itu, ikan-ikan cantik berenang lembut di air yang mulai hangat karena sinar matahari yang semakin naik, dan suara gemercik air mancur di kolam ikan berpatung kuda putih terdengar lebih jelas dari biasanya.

-Tamat.

Hey, I'll be glad if you tell me what do you think about this fiction or give a review in the comment below. Thanks.
Ini pertama kalinya saya membuat fiksi anak-anak~

Komentar