Buka Hatimu, Fern!

Oleh: Rizka Nafiah

            Temanku, Luke, adalah seorang murid laki-laki biasa tidak jauh berbeda dengan murid lainnya. Keseharianya juga sekolah, hang out bersama teman, belajar, bermain game, dan lain-lain. Akan tetapi, ada satu hal yang tak bisa kulupakan dari seorang Luke. Dia adalah penggila misteri, dan sepertinya hanya aku teman sekolahnya yang tahu tentang hal ini. Luke membaca buku-buku dan menonton film-film misteri layaknya seorang maniak. Hal ini kuketahui saat pernah, sekali aku masuk ke kamarnya. Rumah kami memang berdekatan. Ya, kami pun tetangga, tapi ternyata aku cukup kuper. Awalnya aku hanya ingin mengembalikan buku pelajaran yang kupinjam beberapa hari sebelumnya. Namun, rupanya Luke adalah teman yang ramah, dia mengajakku masuk dengan senyum dinginnya. Tak cukup di ruang tamu saja, dia mengajakku masuk ke kamarnya. Aku ternganga lebar saat itu. Sebenarnya agak berlebihan, tapi spontan karena itu pertama kalinya aku melihat kamar laki-laki yang penuh dengan buku-buku yang sebagian besar cover-nya berwarna gelap di dalam rak khusus. Ada satu TV, dan di depannya berceceran kaset-kaset film. Kulihat sekilas, ada dua judul kaset film yang kukenal berjudul Another dan Goth. Wow, ternyata setelah kuperhatikan baik-baik semuanya tentang misteri. Aku rasa saat itu dia memang sedikit pamer.
            Aku juga sering melihat, bila ada kasus-kasus di sekitar kompleksnya, Luke senang datang dan melihat-lihat polisi yang menyelidiki, di tempat yang jauh dari kerumunan orang. Entah hal apa yang pernah terjadi, hingga membuatnya seperti ini. Sebenarnya aku juga sedikit bingung dengan hobinya yang senang melihat-lihat polisi di TKP. Rupanya dia masih baru. Dia senang hal-hal berbau misteri, atau detektif? Menurutku mungkin keduanya. Karena memang kebanyakan orang yang tidak benar-benar mendalami salah satu dari misteri atau detektif tidak membedakan aliran mereka.
            Jujur saja, aku adalah penggila hal-hal berbau detektif – tentunya sudah lama sebelum Luke. Aku sangat tidak ingin memberitahukan hal ini pada Luke. Karena kegilaanku pada sesuatu tidak pernah separah ia. Aku akui, kegilaanku pada hal berbau detektif ini tumbuh dengan sendirinya sejak aku SD. Aku sengaja tidak memberitahukannya juga karena aku takut ia semakin “gila” dengan mendiskusikan hal-hal gila kepadaku. Sebenarnya bukan tidak suka, alasannya karena aku malas, itu saja. Aku tak kan pernah lupa saat Luke berkata padaku,
“Hei, Fernhock Lotus” panggilnya, Aku sedikit iri dengan namamu. Apa kau tahu, Lotus berarti misteri dan kebenaran? Sungguh mengagumkan”.
“Ah, terima kasih, Luke. Tentu, namamu juga” jawabku.
Mengingatnya saja aku hampir muak. Aku tidak mendengarnya sebagai pujian, tapi gangguan. Kenapa dia mencari tahu arti namaku sebegitunya? Aku saja tidak begitu peduli.
Hingga suatu hari, aku pulang dari sebuah toko buku di daerah East End tempat tinggalku. Awalnya aku ke sana hanya ingin melihat-lihat karena kebetulan lewat dan esoknya adalah hari Minggu. Saat itu kira-kira pukul 08.45 petang. Aku melonjak senang ketika aku tahu tokoh detektif favoritku, dalam serial novel Sherlock Holmes, telah terbit di toko itu. Buku itu masih tersegel rapi, dan tidak ada secuil pun yang terbuka. Kulihat harganya cukup murah, hanya 4,3$. Karena tidak tahan dan penasaran, akhirnya aku membelinya juga. Hingga saat aku berjalan menuju rumah yang jaraknya lumayan jauh, tiba-tiba hujan turun dan bukan rintik-rintik lagi, tapi langsung deras. Oh, tidak! Sherlock Holmes-ku bisa basah kuyup! Kenapa sial sekali sih. Aku sama sekali tidak merasakan saat itu akan turun hujan, karena memang itu di malam hari. Aku melihat sebuah halte dari kejauhan, dan aku segera lari ke sana. Saat separuh jalan sampai ke halte aku melihat sesosok pria bertubuh kecil memakai jas coklat yang rupanya juga sedang berteduh. Setelah aku sampai, ternyata pria yang kulihat sedikit buram tadi…
“Luke?”
“Hei, Fern! Kebetulan sekali kita di sini, sedang apa kau malam-malam begini?”
“Jangan mengambil pertanyaanku”.
Luke tersenyum.
“Kau sama sekali tidak berubah ya” katanya, “Ibuku menyuruh membeli bahan-bahan ini untuk membuat Pie akhir pekan besok. Kau mau ikut?”
Err… Terima kasih atas tawaranmu, tapi aku ada sesuatu yang harus kukerjakan”.
Ya, sesuatu. Membaca novel tentunya.
“Ah, sayang sekali. Umm, Fern…” katanya sambil melirik buku yang aku bawa.
Gawat! Aku hampir lupa kalau aku sedang membawa novel detektif. Aku segera menyembunyikannya ke belakang badan. Aku benar-benar terlihat salah tingkah, “…Ya?”
“Kau menyembunyikan sesuatu! Apa itu…” Luke berusaha meraih buku yang aku bawa. Aku berusaha mengangkatnya agar tidak sampai dipegang Luke. Payah, aku lebih pendek darinya.
“Sherlock Holmes!” kata Luke.
Bagus, aku ketahuan. Namun, setelahnya suasana menjadi hening kembali. Hujan juga masih deras, dan kami menunggu di tempat duduk halte.
“Fern,”
Hn?
“Telah terjadi kecelakaan mobil, di dalamnya ada seorang pria dan anaknya. Ayah dari anak itu meninggal namun anak tersebut hanya luka-luka, lalu ia dilarikan ke sebuah rumah sakit untuk dioperasi. Namun dokter yang hendak mengoperasinya berteriak, ‘Aku tidak bisa mengoperasinya, dia anakku!’. Menurutmu bagaimana ini bisa terjadi, bila ini tidak ada sangkut pautnya dengan adopsi atau penjelajah waktu?”
“Pertanyaan pertama adalah, kenapa kau menanyaiku ini?” celetusku.
“Karena aku penasaran”.
“Penasaran? Dokter yang hendak mengoperasi itu adalah ibunya”. Kulihat Luke menatapku dengan senyum dinginnya yang ‘mengerikan’. Perasaanku sedikit tidak enak.
“Bila kau sedang mengendarai mobil di saat hujan deras dan kau melewati sebuah halte, yang di sana ada tiga orang yang sedang menunggu bis yang tidak kunjung datang, yaitu nenek tua yang terlihat kedinginan dan sudah tidak kuat lagi, seorang teman baikmu yang pernah menyelamatkan hidupmu, dan seorang partner yang kau idam-idamkan selama ini, sedangkan mobilmu hanya muat untuk satu orang tumpangan, mana yang akan kau pilih agar mereka semua senang, dan kau juga untung?”
Aku terdiam. Suara hujan semakin tajam terdengar di telingaku. Pertanyaan macam apa itu? Kau berada di kelas filosofi, Luke? Tentu saja aku tidak mengutamakan partner yang aku idam-idamkan itu dahulu. Namun, bila aku mengutamakan nenek yang hampir sekarat itu, teman baik yang pernah menyelamatkan hidupku pasti cemburu dan berpikiran bahwa aku tidak tahu balas budi. Ah, tapi setidaknya teman baikku memaklumi nenek tua itu, kan? Argh! Luke bilang, ‘agar mereka semua senang, dan kau juga untung’. Tiba-tiba saja pikiranku buntu.
“Apa boleh buat, aku menutup kaca mobilku, dan mereka tidak melihatku di dalam mobil, jadi aku tidak perlu menyelamatkan siapa pun” jawabku.
Kali ini Luke terlihat tersenyum penuh kemenangan karena melihatku tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut, “Jadi, kau untung, masalah selesai, begitu?”
Tch”.
“Hahaha… Hei, Fern” Luke menepok bahuku, “Bagaimana kalau kau membawa nenek tua itu dan mempercayakan kunci mobilmu pada teman baikmu saja, lalu kau menunggu bis bersama partner yang kau idam-idamkan itu?”
Aku terdiam lalu menoleh ke arah Luke. Ya ampun, dia terlihat tersenyum begitu hangat, aku merasakan hangatnya hingga ke ruas-ruas nadiku. Kenapa aku tidak memikirkan hal itu?
“Hei, Luke. Sadarkah kau, aku ini bodoh.”
“Kau tidak bodoh, Fern. Orang bodoh tak kan bisa memecahkan persoalan pertama tadi. Akan tetapi, orang yang tidak peduli dan jarang membuka hatinya tak kan bisa memecahkan persoalan kedua.”
“Bodoh.”
Luke mendorong bahuku sambil tertawa dalam larut malam itu bersamaku, hingga hujan berhenti.


SELESAI

Komentar